Rancangan Undang –
Undang Pertembakauan, SEHAT?
Rancangan Undang-Undang Pertembakauan ( RUUP ) hingga
saat ini masih belum menemukan titik terang. Karena belum adanya satu paham,
terkait Rancangan Undang-Undang Pertembakauan, menjadi alasan utama mengapa
hingga saat ini Rancangan Undang-Undang Pertembakauan masih juga belum disahkan
oleh DPR. Pada dasarnya perkembangan RUU
terkait dengan produk tembakau oleh DPR telah diawali sejak tahun 2006 silam,
dimana diajukannya RUU Pengendalian
Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan ( RUU PDPTK ), oleh Komisi IX DPR
RI, yang akhirnya masuk ke dalam daftar Prolegnas 2009-2014, yang akhirnya
diterima sebagai RUU inisiatif DPR RI. Kemudian, keluarlah Surat Presiden untuk
membahas terkait RUUP tersebut kepada 6 kementrian di Indonesia. Hingga akhirnya, pada tanggal 11 Agustus
2014, Kementrian Kesehatan mengirim surat kembali kepada Presiden terkait
penolakan RUU Pertembakauan, karena dianggap tidak mencerminkan semangat
mewujudkan NKRI yang mencerdaskan, menyehatkan, dan meningkatkan kualitas hidup
bangsa Indonesia. Namun, pada pergantian Kepemimpinan Nasional pada tahun 2014
silam, RUU ini kembali di bahas dan diajukan pada rapat paripurna yang
diselenggrakan pada Februari 2015, dan diajukan sebagai Prolegnas DPR
2015-2019. Untuk mengejar penutupan masa sidang yang jatuh pada bulan Juli
2016, DPR melakukan berbagai upaya harmonisasi terkait RUUP ini, dengan
melakukan berbagai justifikasi terkait pentingnya RUU Pertembakauan dengan
mengesampingkan berbagai pertimbangan yang diajukan oleh beberapa pihak,
seperti organisasi kemasyarakatan yang dengan terang-terangan menolak adanya
pembahasan RUU Pertembakauan. Adanya pro dan kontra ini juga mengakibatkan
lengsernya Ketua DPR RI Ade Komarudin, karena dianggap menghambat masuknya RUU
Pertembakauan ke dalam sidang paripurna yang saat itu akan segera diselenggarkan. Lengsernya Ade
Komarudin kemudian digantikan oleh Setya Novanto yang kemudian RUU Pertembakauan
ini dibahas dalam sidang paripurna pada 15 Desember 2016 lalu, yang disahkan
sebagai RUU inisiatif DPR.
Perdebatan terkait RUU Pertembakauan masih berlangsung
hingga saat ini, baik yang mendukung maupun yang menolak adanya RUU ini. Kontroversi yang mengiringi RUUP ini, terutama terkait ketiadaan naskah akademis, prosesnya yang
dianggap melompati prosedur, serta isinya yang lebih banyak berorientasi
ekonomi industri ketimbang kesehatan.
Beberapa pasal dalam RUUP dianggap
bertentangan dengan beberapa peraturan perundangan lainnya diantarannya pada
Pasal 48 RUUP yang mengatur mengenai iklan rokok yang berbunyi “ Pelaku usaha
dapat melakukan iklan dan promosi melalui media cetak, media elektronik, media
luar ruang, media online, dalam jumlah terbatas dan waktu tertentu”. Pasal ini
jelas bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang
Pertembakauan, dimana pada Pasal 26 dan 27 Peraturan Pemerintah tersebut
dijelaskan bahwa pemerintah melakukan pengendalian terhadap iklan produk
tembakau, dalam hal ini adalah rokok. Apabila RUUP ini disahkan nantinya, maka
dapat dipastikan akan mengakibatkan jumlah perokok di Indonesia terus
bertambah, terutama pada anak-anak di bawah umur. Hal ini disebabkan para
pelaku usaha dapat lebih mudah memsarkan produknya melalui berbagai media.
Salah satunya media luar ruang, dimana media ini dapat dilihat oleh berbagai
kalangan masyarakat, termasuk anak-anak. Selain itu media-media lain selain
luar ruangan juga akan sama-sama berpotensi dilihat oleh anak dibawah umur.
Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Pasal 26 dan 27 telah dijelaskan bahwa
pemerintah melakukan pengendalian produk tembakau. Jika pelaku usaha dapat
melakukan iklan dan promosi di berbagai media, tidak menutup kemungkinan akan
memicu peningkatan jumlah perokok di Indonesia itu sendiri.
Pada Rancangan Undang- Undang
Pertembakauan Pasal 38 ayat 2 yang berbunyi “ Pencantuman peringatan kesehatan
sebagaiana dimaksud apada ayat ( 1 ) ditulis dengan huruf yang jelas, mudah
dibaca dan proporsional”. Dalam pasal ini tidak dijabarkan pula mengenai gambar
bahaya merokok pada bungkus rokok. Hal ini juga bertentangan dengan keputusan
Kementrian Kesehatan yang menginginkan 80% dari kemasan rokok terdapat
peringatan dengan gambar bahaya rokok. Jika saat ini pencantuman gambar bahaya
roko pada setiap kemasan ( bungkus ) rokok tidak juga menimbulkan efek jera
bagi para perokok, apalagi jika gambar itu dihilangkan dan hanya dicantumkan
peringatan berupa tulisan saja? Bukankah itu akan lebih memperparah angka
perokok di Indonesia itu sendiri.
RUU Pertembakauan memang dinilai lebih
melindungi industri tembakau saja.Namun jika ditinjau lebih jauh, petani
tembakau tidak bisa menikmati keuntungan secara langsung. Diamana 5% hasil
cukai tembakau diterima dan dikelola secara langsung oleh pemerintah.
Dalam kacamata kesehatan, adanya RUUP
ini, pada dasarnya justru banyak merugikan bagi masyarakat Indonesia terkait
derajat kesehatan masyarakatnya. Dalam RUUP Bab VII tentang harga dan cukai
misalnya, didalam bab itu dijelaskan bahwa harga produk tembakau yang mengandung
tembakau import sebesar 3 kali lipat dari tembakau lokal. Hal ini berarti rokok
lokal akan dijual dengan harga yang murah. Sedangkan, hingga saat ini masih ada
beberapa petani tembakau Indonesia yang memproduksi tembakau mole, dimana
tembakau jenis ini mempunyai kadar nikotin yang lebih tinggi dibadandingkan
tembakau Barley dan Virginia yang di import dari luar justru memiliki kadar
nikotin yang jauh lebih rendah. Jika ditinjau, maka RUUP ini pada dasarnya
tidak mempertimbangkan masalah kesehatan yang ditimbulkan. Karena, RUUP lebih
mengarahkan masyarakat untuk membeli produk rokok lokal yang lebih murah (
terjangkau ) namun memiliki bahaya kesehatan yang lebih berbahaya dan merusak
kesehatan masyarakat itu sendiri.
Tingginya cukai yang diterima pemerintah
dari hasil tembakau yaitu mencapai 149,9 triliun pada APBN 2017 lalu, pada
dasarnya tidak dapat menutup biaya pengobatan yang harus ditanggung akibat
bahaya merokok itu sendiri, yang bisa mencapai berkali lipat dari hasil cukai
yang didapatkan dari hasil tembakau tersebut. Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Kemkes Muhammad Subuh, merokok masuk dalam empat penyebab penyakit katastropik di
Indonesia yang biaya pengobatannya tinggi.
Selain itu pada RUUP Pasal 58 juga
dijabarkan bahwa “Pada saat Undang – Undang ini mulai berlaku semua peraturan
perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan pertembakauan dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang – undang
ini”. Hal ini berarti, apabila pasal peraturan perundang-undangan lainyang
tidak cocok ( bertentangan ) dengan RUU Perundangan menjadi tidak aktif.
Bukankah ini akan menimbulkan kerancauan dan akn menimbulkan masalah masalah
yang dapat berkelanjutan?
Menilik dari beberapa pertimbangan di atas
apakah Rancangan Undang-Undang Pertembakauan dapat mencerminkan semangat mewujudkan NKRI yang mencerdaskan,
menyehatkan, dan meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia?
#ISMKMI
#ismkmi_wilayah_3
#ismkmidiy